Rabu, 18 Januari 2017

H A L I M

Ilmu Ketuhanan bukan Ilmu Akal tapi ILmu Rasa

Belajar ilmu hisab atau ilmu kedoktoran
Tidak terasa bertuhan, tidaklah hairan
Belajar ilmu yang disebut dan lain-lain ilmu tidak terasa bertuhan
Perkara biasa di setiap zaman
Bahkan adakalanya belajar ilmu secular
Langsung tidak percaya adanya
Tuhan yang Maha Esa

Tapi yang lebih aneh
Orang yang belajar ilmu ketuhanan
hingga jadi ulama, tidak rasa bertuhan
Bahkan pakar ilmu Tauhid atau ilmu ketuhanan pun tidak bertuhan

Kerana belajar ilmu aqidah dengan akal semata-mata
Sedangkan jiwanya tidak menghayati ilmu itu
Akalnya percaya adanya Tuhan
Jiwanya tidak terasa bertuhan

Disegi ilmu, pakar dengan Tuhan
Disegi jiwa, kosong dari Tuhan
Kerana itulah rasa takutnya dengan Tuhan tidak berlaku atau tiada

Syariat Tuhan tidak dijadikan pakaian
Apabila mendapat ujian
Dia tidak dapat kembalikan kepada Tuhan
atau tidak merujuk kepada Tuhan

Akibatnya jiwanya menderita
Menerima ujian itu dia tidak tahan
Akhlaknya kasar, tidak melambangkan orang bertuhan
kehidupannya tidak mempedulikan masyarakat
Sekalipun boleh memperkatakan AL-Quran
Atas alas an ilmu semata-mata
Padahal ilmu ketuhanan hendaklah dirasa oleh jiwa
Ilmu ketuhanan bukan ilmu akal tapi ilmu rasa
Orang yang percaya Tuhan, hidup macam tidak bertuhan
Orang ‘terasa’ bertuhan, orang yang takut dengan Tuhan
sekalipun ilmunya kurang

Mereka yang rasa bertuhan menghormati syariat Tuhan
Kerana rasa bertuhan itu
Lantaran itulah rasa bertuhan
Kenalah suburkan di dalam setiap jiwa manusia
Tidak cukup setakat akalnya percaya adanya Tuhan.
Fana dalam makna leksikalnya adalah ketiadaan dan kehancuran. Dan lawan dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada. Seperti Tuhan termasuk kategori abadi dan baqa, sementara selain-Nya atau seluruh makhluk digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana.

Sedangkan fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak memandang, memperhatikan, dan menyaksikan keberadaannya sendiri.Yang pasti hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa seseorang yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi dirinya sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam hatinya.


Lathifah-lathifah Batin dalam Tasawuf


Acuan dalam pengamalan tarekat bertumpu kepada tradisi dan akhlak nubuwah (kenabian), dan mencakup secara esensial tentang jalan sufi dalam melewati maqomat dan ahwal tertentu. Setelah ia tersucikan jasmaniahnya, kemudian melangkah kepada aktivitasaktivitas, yang meliputi:


Pertama, tazkiyah an nafs atau pensucian jiwa, artinya mensucikan diri dari berbagai kecenderungan buruk, tercela, dan hewani serta menghiasinya dengan sifat sifat terpuji dan malakuti.
Kedua, tashfiyah al qalb, pensucian kalbu. Ini berarti menghapus dari hati kecintaan akan kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara dan kekhawatirannya atas kesedihan, serta memantapkan dalam tempatnya kecintaan kepada Allah semata.
Ketiga, takhalliyah as Sirr atau pengosongan jiwa dari segenap pikiran yang bakal mengalihkan perhatian dari dzikir atau ingat kepada Allah.
Keempat, tajalliyah ar Ruh atau pencerahan ruh, berarti mengisi ruh dengan cahaya Allah dan gelora cintanya.
  • Qasrun = Merupakan unsur jasmaniah, berarti istana yang menunjukan betapa keunikan struktur tubuh manusia.
  • Sadrun = (Latifah al-nafs) sebagai unsur jiwa
  • Qalbun = (Latifah al-qalb) sebagai unsur rohaniah
  • Fuadun = (Latifah al-ruh) Unsur rohaniah
  • Syagafun = (Latifah al-sirr) unsur rohaniah
  • Lubbun = (Latifah al-khafi) unsur rohaniah
  • Sirrun = (Latifah al-akhfa) unsur rohaniah
Diagram Lathaif (Lathifah-lathifah dlm diri manusia)

Hal ini relevan dengan firman Allah SWT dalam hadist qudsi:

"Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi fu'ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terialu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada "Aku".

Ahmad al-Shirhindi dalam Kharisudin memaknai hadist qudsi di atas melalui sistem interiorisasi dalam diri manusia yang strukturnya yang dapat diperhatikan dalam gambar di atas.

Pada dasarnya lathifah-lathifah tersebut berasal dari alam amri (perintah) Allah : "Kun fayakun", yang artinya, "jadi maka jadilah" (QS : 36: 82) merupakan al-ruh yang bersifat immaterial. Semua yang berasal dari alam al-khalqi (alam ciptaan) bersifat material. Karena qudrat dan iradat Allah ketika Allah telah menjadikan badan jasmaniah manusia, selanjutnya Allah menitipkan kelima lathifah tersebut ke dalam badan jasmani manusia dengan keterikatan yang sangat kuat.

Lathifah-lathifah itulah yang mengendalikan kehidupan batiniah seseorang, maka tempatnya ada di dalam badan manusia. Lathifah ini pada tahapan selanjutnya merupakan istilah praktis yang berkonotasi tempat.
Umpamanya lathifah al-nafsi sebagai tempatnya al-nafsu al-amarah. Lathifah al-qalbi sebagai tempatnya nafsu al-lawamah. Lathifah al-Ruhi sebagai tempatnya al-nafsu al-mulhimmah, dan seterusnya. Dengan kata lain bertempatnya lathifah yang bersifat immaterial ke dalam badan jasmani manusia adalah sepenuhnya karena kuasa Allah.

Lathifah sebagai kendaraan media bagi ruh bereksistensi dalam diri manusia yang bersifat barzakhiyah (keadaan antara kehidupan jasmaniah dan rohaniah).

Pada hakekatnya penciptaan ruh manusia (lima lathifah), tidak melalui sistem evolusi. Ruh ditiupkan oleh Allah ke dalam jasad manusia melalui proses. Ketika jasad Nabi Adam a.s telah tercipta dengan sempurna, maka Allah memerintahkan ruh Nya untuk memasuki jasad Nabi Adam a.s. Maka dengan enggan ia menerima perintah tersebut. Ruh memasuki jasad dengan berat hati karena harus masuk ke tempat yang gelap. Akhirnya ruh mendapat sabda Allah: "Jika seandainya kamu mau masuk dengan senang, maka kamu nanti juga akan keluar dengan mudah dan senang, tetapi bila kamu masuk dengan paksa, maka kamupun akan keluar dengan terpaksa". Ruh memasuki melalui ubun-ubun, kemudian turun sampai ke batas mata, selanjutnya sampai ke hidung, mulut, dan seterusnya sampai ke ujung jari kaki. Setiap anggota tubuh Adam yang dilalui ruh menjadi hidup, bergerak, berucap, bersin dan memuji Allah. Dari proses inilah muncul sejarah mistis tentang karakter manusia, sejarah salat (takbir, ruku dan sujud), dan tentang struktur ruhaniah manusia (ruh, jiwa dan raga).

Bahkan dalam al Qur'an tergambarkan ketika ruh sampai ke lutut, maka Adam sudah tergesa gesa ingin berdiri. Sebagaimana firman Allah : "Manusia tercipta dalam ketergesa-gesaan" (Q.S.21:37).

Pada proses penciptaan anak Adam pun juga demikian, proses bersatunya ruh ke dalam badan melalui tahapan. Ketika sperma berhasil bersatu dengan ovum dalam rahim seorang ibu, maka terjadilah zygot (sel calon janin yang diploid ). Ketika itulah Allah meniupkan sebagian ruhnya (QS : 23 : 9), yaitu ruh al-hayat. Pada tahapan selanjutnya Allah menambahkan ruhnya, yaitu ruh al-hayawan, maka jadilah ia potensi untuk bergerak dan berkembang, serta tumbuh yang memang sudah ada bersama dengan masuknya ruh al-hayat.

Sedangkan tahapan selanjutnya adalah peniupan ruh yang terakhir, yaitu ketika proses penciptaan fisik manusia telah sempurna (bahkan mungkin setelah lahir). Allah meniupkan ruh al-insan (haqiqat Muhammadiyah). Maka dengan ini, manusia dapat merasa dan berpikir. Sehingga layak menerima taklif syari' (kewajiban syari'at) dari Allah dan menjadi khalifah Nya.

Itulah tiga jenis ruh dan nafs yang ada dalam diri manusia, sebagai potensi yang menjadi sudut pandang dari fokus pembahasan lathifah (kesadaran). Lima lathifah yang ada di dalam diri manusia itu adalah tingkatan kelembutan kesadaran manusia. Sehingga yang dibahas bukan hakikatnya, karena hakikat adalah urusan Tuhan (QS : 17 : 85), tetapi aktivitas dan karakteristiknya.

Lathifah al-qalb, bukan qalb (jantung) jasmaniah itu sendiri, tetapi suatu lathifah (kelembutan), atau kesadaran yang bersifat rubbaniyah (ketuhanan) dan ruhaniah. Walaupun demikian, ia berada dalam qalb (jantung) manusia sebagai media bereksistensi. Menurut Al Ghazall, di dalam jantung itulah memancarnya ruh manusia itu. Lathifah inilah hakikatnya manusia. Ialah yang mengetahui, dia yang bertanggung jawab, dia yang akan disiksa dan diberi pahala. Lathifah ini pula yang dimaksudkan sabda Nabi "Sesungguhnya Allah tidak akan memandang rupa dan hartamu, tetapi ia memandang hatimu".

Latifiah al-qalb bereksistensi di dalam jantung jasmani manusia, maka jantung fisik manusia ibaratnya sebagai pusat gelombang, sedangkan letak di bawah susu kiri jarak dua jari (yang dinyatakan sebagai letaknya lathifah al-qalb) adalah ibarat "channelnya". Jika seseorang ingin berhubungan dengan lathifah ini, maka ia harus berkonsentrasi pada tempat ini. Lathifah ini memiliki nur berwarna kuning yang tak terhinggakan (di luar kemampuan indera fisik).

Demikian juga dengan lathifah al-ruh, dia bukan ruh atau hakikat ruh itu sendiri. Tetapi lathifah al-ruh adalah suatu identitas yang lebih dalam dari lathifah al-qalb. Dia tidak dapat diketahui hakikatnya, tetapi dapat dirasakan adanya, dan diketahui gejala dan karakteristiknya. Lathifah ini terletak di bawah susu kanan jarak dua jari dan condong ke arah kanan. Warna cahayanya merah yang tak terhinggakan. Selain tempatnya sifat-sifat yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat bahimiyah atau sifat binatang jinak. Dengan lathifah ini pula seorang salik akan merasakan fana al-sifat (hanya sifat Allah saja yang kekal), dan tampak pada pandangan batiniah.

Lathifah al-sirri merupakan lathifah yang paling dalam, terutama bagi para sufi besar terdahulu yang kebanyakan hanya menginformasikan tentang tiga lathifah manusia, yaitu qalb, ruh dan sirr. Sufi yang pertama kali mengungkap sistem interiorisasi lathifah manusia adalah Amir Ibn Usman Al Makki (w. 904 M), yang menurutnya manusia terdiri dari empat lapisan kesadaran, yaitu raga, qalbu, ruh dan sirr. Dalam temuan Imam al Robbani al Mujaddid, lathifah ini belum merupakan latifiah yang terdalam. Ia masih berada di tengah tengah lathifah al ruhaniyat manusia. Tampaknya inilah sebabnya sehingga al Mujaddid dapat merasakan pengalaman spiritual yang lebih tinggi dari para sufi sebelumnya, seperti Abu Yazid al Bustami, al-Hallaj (309 H), dan Ibnu Arabi (637 H). Setelah ia mengalami "ittihad" dengan Tuhan, ia masih mengalami berbagai pengalaman ruhaniah, sehingga pada tataran tertinggi manusia ia merasakan sepenuhnya, bahwa abid dan ma'bud adalah berbeda, manusia adalah hamba, sedangkan Allah adalah Tuhan.

Hal yang diketahui dari lathifah ini adalah, ia memiliki nur yang berwarna putih berkilauan. Terletak di atas susu kiri jarak sekitar dua jari, berhubungan dengan hati jasmaniah (hepar). Selain lathifah ini merupakan manifestasi sifat-sifat yang baik, ia juga merupakan sarangnya sifat sabbu’iyyah atau sifat binatang buas. Dengan lathifah ini seseorang salik akan dapat merasakan fana' fi al-dzat, dzat Allah saja yang tampak dalam pandangan batinnya.

Lathifah al-khafi adalah lathifah al-robbaniah al-ruhaniah yang terletak lebih dalam dari lathifah al-sirri. Penggunaan istilah ini mengacu kepada hadis Nabi : "Sebaik-baik dzikir adalah khafi dan sebaik baik rizki adalah yang mencukupi". Hakikatnya merupakan rahasia Ilahiyah. Tetapi bagi para sufi, keberadaanya merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Cahayanya berwarna hitam, letaknya berada di atas susu sebelah kanan jarak dua jari condong ke kanan, berhubungan dengan limpa jasmani. Selain sebagai realitas dari nafsu yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat syaithoniyyah seperti hasad, kibir (takabbur, sombong), khianat dan serakah.

Lathifah yang paling lembut dan paling dalam adalah lathifah al-akhfa. Tempatnya berada di tengah-tengah dada dan berhubungan dengan empedu jasmaniah manusia. Lathifah ini memiliki nur cahaya berwarna hijau yang tak terhinggakan. Dalam lathifah ini seseorang salik akan dapat merasakan'isyq (kerinduan) yang mendalam kepada Nabi Muhammad s.a.w. sehingga sering sering ruhaniah Nabi datang mengunjungi.
Relevan dengan pendapat al-Qusyairi yang menegaskan tentang tiga alat dalam tubuh manusia dalam upaya kontemplasi, yaitu:

  • Pertama qalb yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Allah.
  • Kedua, ruh berfungsi untuk mencintai Allah, dan
  • Ketiga, sirr berfungsi untuk melihat Allah.

Dengan demikian proses ma'rifat kepada Allah menurut al Qusyairi dapat digambarkan sebagai berikut dibawah ini.
Aktivitas spiritual itu mengalir di dalam kerangka makna dan fungsi rahmatan lil 'alamin; Tradisi kenabian pada hakekatnya tidak lepas dari mission sacred, misi yang suci tentang kemanusiaan dan kealam semestaan untuk merefleksikan asma Allah.



ILMU TASAWUF


Kalau seorang menganut ajaran tasawuf (tashawwuf) pada awal siang hari, tidak datang waktu zhuhur kepadanya melainkan engkau mendapatkan dia menjadi dungu“.

Berikut penjelasan lengkap beserta sanadnya dalam kitab Manaqib al-Syafi’i lil-Imam Al Baihaqi:

Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah al Hafizh, berkata: Aku telah mendengar Abu Muhammad; Ja’far ibn Muhammad al Harits berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah al Husain ibn Muhammad ibn Bahr, berkata: Aku telah mendengar Yunus ibn Abd al A’la berkata: Aku telah mendengar asy-Syafi’i berkata: “Jika ada seseorang bertasawwuf di pagi hari maka sebelum datang zhuhur aku sudah mendapatinya telah menjadi orang dungu“.

Dan telah memberitakan kepada kami Abu Abdurrahman as-Sullami, berkata: Aku telah mendengarJa’far ibn Muhammad al Maraghi, berkata: Aku telah mendengar al Husain ibn Bahr, berkata: (lalu mengatakan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i di atas).

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad ibn Abdullah, berkata: Aku telah mendengar Abu Zur’ah ar-Razi, berkata: Aku telah mendengar Ahmad ibn Muhammad ibn as-Sindi, berkata: Aku telah mendengar ar-Rabi’ ibn Sulaiman, berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang -yang bernar-benar- sufi kecuali Muslim al-Khawwash“.

Aku (Al-Bayhaqi) katakan: “Sesungguhnya yang dimaksud -oleh Imam Syafi’i-: adalah orang yang masuk dalam kalangan sufi yang hanya mencukupkan dengan “nama” saja sementara dia tidak paham makna intinya, dia hanya mementingkan catatan tanpa mendalami hakekatnya, hanya duduk dan tidak mau berusaha, ia menyerahkan biaya hidup dirinya ke tangan orang-orang Islam, dia tidak peduli dengan orang-orang Islam tersebut, tidak pernah menyibukan diri dengan mencari ilmu dan ibadah, sebagaimana maksud ucapan Imam Syafi’i ini ia ungkapkan dalam riwayat lainnya”, yaitu riwayat yang telah dikabarkan kepada kami oleh Abu Abdirrahman al-Sullami, berkata: Aku telah mendengar Abu Abdillah ar-Razi berkata: Aku telah mendengar Ibrahim ibn al Mawlid berkata dalam meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i: “Seseorang tidak akan menjadi sufi hingga terkumpul pada dirinya empat perkara; pemalas, tukang makan, tukang tidur, dan tukang berlebihan”. Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam mu’amalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.


...telah mengabarkan kepada kami Abu Abdirrahman al-Sullami, berkata: aku mendengar Abdullah bin al-Husain Ibnu Musa al-Sullami, mengatakan: aku mendengar Ali bin Ahmad, mengatakan: aku mendengar Ayyub bin Sulaiman, mengatakan: aku mendengarkan Muhammad bin Muhammad bin Idris al-Syafi’i mengatakan: aku mendengarkan ayahku mengatakan: “Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat)”.



Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (ulama Wahabi) mengutip ucapan Imam al-Syafi’i didalam kitabnya:


قال الشافعي رضي الله عنه : صحبت الصوفية فما انتفعت منهم إلا بكلمتين سمعتهم يقولون الوقت سيف فإن قطعته وإلا قطعك ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل . قلت – أي ابن القيم – : يا لهما من كلمتين ما أنفعهما وأجمعهما وأدلهما على علو همة قائلهما ويقظته ويكفي في هذا ثناء الشافعي على طائفة هذا قدر كلماتهم

“Imam Syafi’i berkata: “Aku berteman dengan kaum sufi dan tidaklah aku mendapat MANFA’AT dari mereka kecuali dua kalimat yang aku dengar dari mereka yaitu, “Waktu itu adalah pedang jika kamu mampu memutusnya, jika tidak maka waktu itu yang akan memutusmu. Dan nafsumu jika tidak disibukkan dengan kebenaran, maka akan disibukkan dgn kebathilan”. Aku katakan (Ibnul Qoyyim): “Aduhai sangatlah manfaat dan mencangkup dua kalimat tersebut dan sangat menunjukan atas tingginya semangat dan ketajaman pikiran orang yang mengatakan dua kalimat tersebut, dan cukuplah hal ini sebagai pujian Imam Syafi’i pada mereka…” (Madarij As-Salikin juz 3 hal; 129).

Imam Syafi’i didalam kitab Diwannnya:

فقيهاً وصوفياً فكن ليس واحدا فإنــي وحـق الله إيـاك أنصح
فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح

“Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu. Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jika kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik “. (Diwan Imam Syafi’i halaman : 19)

Imam Asy-Syafi’i Memuji Ulama Sufi

Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’i memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar-Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan Asy-Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar-Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,"Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya". Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As-Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As-Shufi. Asy-Syafi’i mengatakan, "Dia adalah dia." (Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164).

Itulah sebagian kecil pandangan para ulama ahlussunnah wal jama’ah yang benar mengenai apa itu tasawuf dan sufi. Hanya dari kelompok menyimpang saja yang membenci dan menuduh sesat pengikut tasawuf/sufi. Kelompok dari paham yang membenci tasawuf atau kaum sufi bisa dipastikan bukan bagian dari ahlussunnah wal jama’ah, karena tasawuf adalah bagian dari ahlussunnah wal jama’ah.
 

Sebenarnya ilmu rohaniah itu adalah ilmu tasawuf atau dikatakan juga sebagai ilmu hakikat atau ilmu batin. Mengapa ilmu ini dikatakan ilmu rohani? Ini kerana perbahasannya adalah mengenai roh. Mengapa pula ia juga dikatakan ilmu tasawuf? Jika kita lihat perbincangan para ulama termasuk ulama moden, perkataan tasawuf itu diambil daripada bermacam-macam perkataan. Tetapi di sini saya hanya memilih salah satu daripadanya iaitu dari perkataan sofa’  bermakna bersih atau murni. Tegasnya, ilmu tasawuf itu adalah ilmu bagaimana hendak membersihkan atau memurnikan roh (hati) atau nafsu. Agar dari dorongan hati yang bersih itu dapat membersihkan pula anggota lahir daripada melakukan kemungkaran dan kesalahan. Oleh itu, ilmu tasawuf itu adalah ilmu mengenai cara-cara membersihkan lahir dan batin daripada dosa dan kesalahan. Bahkan kesalahan lahir ini berpunca dari kesalahan batin. Dosa lahir ini berlaku setelah berlakunya dosa batin. Maka sebab itulah ia dikatakan ilmu tasawuf. Kenapa pula ilmu ini juga dikatakan ilmu batin? Ini kerana roh atau hati memang tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Ia adalah makhluk yang tersembunyi. Maka ilmu ini dinamakan ilmu batin kerana ia membahaskan tentang hati dan sifat-sifatnya yang memang tidak dapat dilihat dengan mata lahir tapi dapat dilihat oleh mata batin. Mengikut pandangan umum masyarakat sekarang, bila disebut ilmu batin, mereka menganggap itu adalah ilmu pengasih atau ilmu kebal. Orang yang belajar ilmu batin bermakna dia belajar ilmu kebal atau belajar ilmu pengasih. Sebenarnya orang itu belajar ilmu kebudayaan Melayu, yang mana ilmu itu ada dicampur dengan ayat-ayat Al Quran. Kebal juga adalah satu juzuk daripada kebudayaan orang Melayu yang sudah disandarkan dengan Islam. Kalau kita hendak mempelajarinya tidak salah jika tidak ada unsur-unsur syirik. Tetapi itu bukan ilmu tasawuf atau ilmu kerohanian seperti apa yang kita bahaskan di sini. Adakalanya ilmu tasawuf dipanggil juga ilmu hakikat. Ini kerana hakikat manusia itu yang sebenarnya adalah rohnya. Yang menjadikan manusia itu hidup dan berfungsi adalah rohnya. Yang menjadikan mereka mukalaf disebabkan adanya roh. Yang merasa senang dan susah adalah rohnya. Yang akan ditanya di Akhirat adalah rohnya. Hati atau roh itu tidak mati sewaktu jasad manusia mati. Cuma ia berpindah ke alam Barzakh dan terus ke Akhirat. Jadi hakikat manusia itu adalah roh. Roh itulah yang kekal. Sebab itu ia dikatakan ilmu hakikat. Oleh yang demikian apabila kita mempelajari sungguh-sungguh ilmu rohani ini hingga kita berjaya membersihkan hati, waktu itu yang hanya kita miliki adalah sifat-sifat mahmudah iaitu sifat-sifat terpuji. Sifat-sifat mazmumah iaitu sifat-sifat terkeji sudah tidak ada lagi. Maka jadilah kita orang yang bertaqwa yang akan diberi bantuan oleh Allah SWT di dunia dan Akhirat. Kebersihan hati inilah yang akan menjadi pandangan Allah. Maksudnya, bila hati bersih, sembahyangnya diterima oleh Allah SWT. Bila hati bersih, puasanya diterima oleh Allah. Bila hati bersih, perjuangannya diterima oleh Allah. Bila hati bersih, wirid dan zikirnya diterima oleh Allah. Bila hati bersih, pengorbanannya diterima oleh Allah. Tetapi bila hati tidak bersih, seluruh amalan lahirnya tidak akan diterima. Itulah yang dimaksudkan di dalam ajaran Islam bahawa walaupun kedua-dua amalan lahir dan amalan batin diperintahkan melaksanakannya tetapi penilaiannya adalah amalan roh atau hatinya. Ini sesuai dengan Hadis yang bermaksud: “Cukup sembahyang sunat dua rakaat daripada hati yang bertaqwa.” Maknanya dua rakaat sembahyang seorang yang bertaqwa itu lebih baik daripada seorang yang banyak sembahyang tetapi hati masih kotor. Selain sembahyang itu diterima, dua rakaat sembahyang dari hati yang bertaqwa itu akan memberi kesan kepada kehidupan seseorang itu. Sembahyangnya itu boleh mencegah dirinya dari berbuat kemungkaran dan kemaksiatan, lahir dan batin. Berdasarkan Hadis di atas, kita cukup bimbang kerana selama ini kita telah mengerjakan sembahyang, sudah lama berjuang, sedikit sebanyak sudah berkorban, sudah habiskan masa untuk berdakwah, sembahyang berjemaah, ikut jemaah Islamiah, yang mana ini semua adalah amalan lahir, rupa-rupanya Allah tidak terima semua amalan itu disebabkan hati kita masih kotor. Roh kita masih tidak bersih. Oleh itu dalam kita menunaikan kewajipan yang lahir ini, jangan lupa kita memikirkan roh kita. Kerana roh yang kotor itulah yang akan mencacatkan amalan lahir, mencacatkan sembahyang, mencacatkan segala ibadah dan mencacatkan pahala seluruh kebaikan kita. Orang yang banyak amal ibadah, di langit yang pertama sudah tercampak amalannya. Kalaupun boleh naik, di langit yang kedua pula tersekat. Begitulah seterusnya di pintu-pintu langit yang lain hingga sampai ke pintu langit yang ketujuh, tersangkut lagi. Itu bagi orang yang beramal, masih tertolak amalannya. Bagaimana agaknya kalau orang yang tidak beramal langsung? Mengapa amalan lahir itu tersangkut? Tersangkutnya amalan itu kerana ia ada hubungan dengan penyakit batin atau roh (hati) kita yang masih kotor. Orang yang mengumpat umpamanya, kerana hatinya sakit. Walaupun mengumpat itu nampaknya amalan lahir, mulutnya yang bercakap tetapi ia datang dari hati yang kotor. Sebenarnya hati itulah yang mengumpat. Hasad dengki, riyak, kibir, sombong dan sebagainya, itu semua amalan hati. Rupa-rupanya yang menghijab amalan lahir ini adalah mazmumah hati. Amalan hati (roh) ini hendaklah dijaga kerana mazmumah hati inilah yang membatalkan pahala amalan-amalan lahir. Ditegaskan sekali lagi, ilmu rohani adalah ilmu yang mengesan tabiat roh atau hati sama ada yang mazmumah atau mahmudahnya. Bukan untuk mengetahui hakikat zat roh itu sendiri. Hakikat roh itu sendiri tidak akan dapat dijangkau oleh mata kepala atau tidak akan dapat dibahaskan. Tetapi apa yang hendak dibahaskan adalah sifat-sifatnya sahaja supaya kita dapat mengenal sifat-sifat roh atau hati kita yang semula jadi itu. Mana-mana yang mahmudahnya (positif) hendak dipersuburkan dan dipertajamkan. Kita pertahankannya kerana itu adalah diperintah oleh syariat, diperintah oleh Allah dan Rasul dan digemari oleh manusia. Mana-mana yang mazmumahnya (negatif) hendaklah ditumpaskan kerana sifat-sifat negatif itu dimurkai oleh Allah dan Rasul serta juga dibenci oleh manusia. Oleh yang demikian, sesiapa yang memiliki ilmu tentang roh ini, mudahlah dia mengesan sifat-sifat semula jadi yang ada pada roh itu. Mahmudahnya dapat disuburkan dan yang mazmumahnya dapat ditumpaskan. Maka jadilah roh atau hati seseorang itu bersih dan murni. Sedangkan hati adalah raja dalam kerajaan diri. Bila raja dalam kerajaan diri ini sudah bersih, baik, adil, takut kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul, maka sudah tentu dia akan mendorong rakyat dalam dirinya iaitu anggota (jawarih) ini untuk tunduk dan patuh kepada Allah. Mudah untuk membangunkan syariat dan Sunnah Rasulullah SAW serta mudah berbuat bermacam-macam bentuk kebaikan lagi. Maka kebaikan anggota lahir inilah yang merupakan buah daripada kebersihan jiwa itu sendiri. Jadi kebersihan jiwa itulah pokok yang melahirkan kebaikan kepada tangan, mulut, mata, telinga, kaki dan seluruh tindakan lahir kita ini. Maka bila roh sudah baik, akan jadi baiklah seluruh lahir dan batin manusia. Bila baik lahir batin manusia, dia akan menjadi orang yang bertaqwa. Bila dia telah menjadi orang yang bertaqwa, maka dia dapat pembelaan dari Allah sama ada di dunia mahupun di Akhirat. Selagi belum menjadi manusia yang bertaqwa, tidak ada jaminan dari Allah akan dibela sama ada di dunia mahupun di Akhirat. Kalau sekadar menjadi orang Islam, tidak ada jaminan dari Allah untuk dibela. Dalam Al Quran, Allah tidak mengatakan akan membela orang Islam. Tidak ada satu ayat pun yang Allah berjanji hendak membantu orang Islam. Tetapi yang ada dalam ayat Al Quran mahupun dalam Hadis, Allah hanya membantu orang-orang mukmin yang bertaqwa. Jadi bila jiwa sudah bersih, maka akan bersih lahir dan batin, maknanya orang itu sudah memiliki sifatsifat taqwa. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam Al Quran: “Hendaklah kamu berbekal. Sesungguhnya sebaik-baik bekalan itu adalah sifat taqwa.” (Al Baqarah: 197) Bila seseorang itu sudah dapat berbekal dengan sifat-sifat taqwa, maka dia akan dapat pembelaan dari Allah SWT. Pembelaan di dunia mahupun di Akhirat. Sebenarnya, di sinilah rahsia kejayaan dan kemenangan umat Islam. Juga rahsia kehebatan umat Islam hingga berjaya menumpaskan musuh-musuhnya sama ada musuh lahir mahupun musuh batin.

Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat (Imam Malik)

Mestikah manusia bertasawuf ?...

Apa itu tasawuf?

Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.

ت
ص
و
ف

تَصَوُفْ

Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.

Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.

Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?

Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.

Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.

Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.

Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.

Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.

Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.

Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.

Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?

Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.

Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.

Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.

Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.

Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.

Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.

Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.

Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.

Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.

Haruskan bertasawuf?

Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan.

Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.

Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.

Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.

Maqom Fana dalam Tasawuf

Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.

Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan, tazkiyah, dan pensucian diri, serta segala kesulitan. Oleh karena itu, pada umumnya suatu perubahan akan bersifat tetap, abadi, dan tidak mudah sirna apabila dilalui dan dicapai dengan susah payah dan kerja keras.

Pada maqâm fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya. Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah melalui perantara atau dengan perantara.

Bagi para pesuluk dan pencari makrifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap, "Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu… sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya." Inilah puncak dan akhir derajat fana yang setelah itu manusia berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan "menyirnakan" segala sesuatu secara sempurna selain-Nya. Di sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan.

Realitas fana ini tidak sampai pada penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.
Penjelasan Detail:

Secara leksikal fana bermakna ketiadaan dan kehancuran. Lawan dari fana adalah baqa yang berarti abadi, tetap, dan eksis. Kata ini dipergunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan, seperti: "Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu," Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata "fanin" (hancur) berhadapan dengan kata "yabqa" (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.

Akan tetapi, makna gramatikal fana tidak bersesuaian dengan makna leksikalnya. Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya sendiri. Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, melainkan manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan hanya Dia yang dipandang.

Istilah fana’ kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :

a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian
nafsu dan keinginan.

b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,
pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian
memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan
memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-
Nya.

c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang
tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri
juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana”
atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’)
(R. A. Nicholson, 1975: 60-61).

Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah
lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa,
yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61).
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi
manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang
hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan
eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana
the passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves
baqa’, the continuance of his real existence. He who dies to self lives in
God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or
baqa’, or union with the divine life” (Nicholson, 1973: 149). Yakni, “Fana,
sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan
wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup
bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini,
menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”

Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif

Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni,
menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang
bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala
yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak
ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”

Abu Said Harraz mendefenisikan fana sebagai berikut, "Fana adalah fananya seorang hamba dari memandang penghambaannya, dan baqa adalah baqanya seorang hamba dengan penyaksian Ilahi.

Qusyairi menyatakan, "Setiap kali Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia tidak lagi menyaksikan segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun perbuatannya, dia fana dari makhluk dan baqa dengan perantaran-Nya."

Mir Syarif Jurjany juga mengungkapkan, "Sirna dan tiadanya sifat-sifat buruk itu disebut fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa."
Maqâm Fana

Di dalam Irfan terdapat dua istilah:

1. Maqom;

2. Hal.

Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara ikhtiari (dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala tempaan, tazkiyah, pensucian diri, dan segala kesulitan. Oleh karena itu, secara umum maqâm itu sangatlah sulit untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan lain, penderitaan dan kesulitan yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan bergradual oleh seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan kerja keras, maka maqâm yang telah digapainya itu tidak akan turun dan sirna dengan mudah.

Sementara pengertian hâl berlawanan dengan maqâm tersebut. Hâl adalah suatu bentuk perubahan yang hadir pada diri seorang arif tanpa kehendaknya sendiri setelah menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena perubahan yang hadir itu datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin akan sirna juga dengan tiba-tiba. Dengan demikian, hâl adalah suatu kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan dan terus menerus mengalami suatu perubahan.

Manusia dalam maqâm fana tidak menyaksikan dirinya sendiri, penghambaannya, kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan alam sekitarnya di hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang Haq.

Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan makna leksikalnya yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa yang menyatakan, "Puncak fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang Haq." Inilah yang dalam istilah Irfan dinamakan sebagai "fana fii Allah" (fana dalam sifat-sifat Tuhan).

Bagaimana Mencapai Maqâm Fana

Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.

Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.

Yang pasti bahwa dalam perjalanan dan suluk irfani ini terdapat banyak tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini. Akan tetapi, maksud dari "liqa ullah" (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, "Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata."[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin "menyaksikan" sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm fana maka -sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan Tuhan. Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.

Allah Swt berfirman, "Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya."

Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda, "Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala bentuk keterikatan dan kebergantungan."

Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?

Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam kitabnya "Arbain Hadis". Beliau dalam kitab itu mengungkapkan, "Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk sebagian pembesar para pesuluk sangatlah mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia "memandang" pancaran eksistensial Tuhan dan kefanaan zatnya sendiri."

Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat sya'baniyah: "Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya."

Dari berbagai referensi kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk memperihalkan tentang maksud fana. Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap' dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau 'maqam' fana ini.

Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah memberikan penjelasan tentang fana.
Fana itu ialah; "Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)"

"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya"
(Al-Qusyairi, t.th: 37)

Maka sesiapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana dari Alam Cipta. Fana bererti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahawa fana itu ialah lenyapnya segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya(fana fil af'al), lenyap sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat)

Oleh kerana inilah ada di kalangan ahli-hali tasauf berkata:

"Tasauf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".

Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' ialah Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'. Sayyidina Ali sering memperkatakan tentang fana. Antaranya :

"Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan".

Demikianlah 'fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah(Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah(Salik). Firman Allah yang bermaksud:

"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah (Surah Al-Kahfi:)

Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:

* Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan Tahali.
* Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah ertinya memfanakan diri.

Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan "fana" fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;

"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman: Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."

Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.

Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;

* "Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".
* Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh mencapai Allah. Beliau telah menjawab dengan katanya:
* "Buangkanlah diri kamu. Di situlah terletak jalan menuju Allah. Barangsiapa yang melenyapkan(fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahawa Allah itu segala-galanya".
* Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
* Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera. Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya adalah di dalam Dia juga."

Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa , Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak). Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri. Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela .
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk . Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.

Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama Allah”.

Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya .

Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengaqn mata sanubarinya .

Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs. Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.

Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.

Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi .
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka : “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan” .
Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun .

Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.
Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti :

“ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku” .
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan mengetok pintu,
Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”.
Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi” .

Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran. Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud.
Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi : a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh; b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia; c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya; d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj .
Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya :

“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)
Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada disana” .
Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahklukku, aku pun berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau . sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.

Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasauf kepada golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana ini dengan kata-kata beliau seperti berikut:

* Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah) sebelum melalui fana(hapus diri)
* Membuangkan segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' ialah kesufian.
* Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah(mahabbah) hingga dia memfanakan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng sahaja.

3. Himpunan perkataan Tentang Fana

A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) ialah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.

B. Setengah mereka yang fana (lupa diri sendiri) dalam satu tajali zat dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majzub yang hakiki.

C. Sufi itu mulanya satu titik air dan menjadi lautan. Fananya diri itu meluaskan kupayaannya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.

D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain. Inilah peringkatWilayah(Kewalian). Perbezaan antara Wali-wali itu ialah disebabkan oleh perbezaan tempoh masa keadaan ini. Ada yang merasai keadaan fana itu satu saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya. Mereka yang dalam keadaan fana seumur hidupnya digelar majzub. Mereka masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.

E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud. Dalam kenabian makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian ialah peringakat fana dan kenabian ialah peringkat baqa

F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya Zat. Jika ada pun ia mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali Zat melarutkan semua cermin penzohiran. Firman Allah yang bermaksud :

Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya.(Surah Al-Fadhilah:54)

G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.

H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35 yang bermaksud;

"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."

I. Muraqobah ialah memfanakan hamba akan afaalnya dan sifatnya dan zatnya dalam afaal Allah, sifat Allah dan zat Allah.

J. Al-Thomsu atau hilang iaitu hapus segala tanda-tanda sekelian pada sifat Allah. Maka iaitu satu bagai daripada fana.

5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana

* Mikraj Muhammad
* Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi

Adalah sangat mungkin manusia mencapai suatu derajat yang antara dia dan Tuhannya hanya terhijabi cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga sangatlah mungkin manusia menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi hijab-hijab cahaya antara dia dan Zat Suci Tuhan. Para pesuluk yang sempurna akan mampu melewati hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna. Dalam kondisi puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya Yang Maha Suci. Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari Yang Maha Benar. Dia melihat dengan "mata" Tuhan, mendengar dengan "telinga" Tuhan, dan berucap dengan "lisan" Tuhan. Inilah puncak dan akhir fana dalam Tuhan (fana fillah).

Hulul

Kata “hulul” yang sinonimnya “infusion” diartikan dengan “penyerapan” yakni menyerap keseluruh bagian obyek yang dapat menerimanya (the infusion spreads to all part of the receptive obyec). Hulul yang demikian digambarkan oleh al-Hallaj “hulul lahut fi nasut” (penyerapan roh ketuhanan ke dalam tubuh manusia). Hulul yang seperti ini terjadi bilamana jiwa seseorang telah suci dan bersih di dalam menempuh perjalanan hidup batin dan kerohaniannya, berpindah dari satu maqam ke maqam yang lebih tinggi, dari awam Muslimin, Mukminin, Salihin, dan Muqarabin.
Pada tingkat muqarabin ini manusia telah dekat dirinya dengan Tuhan, Di atas tingkat muqarabin, roh ketuhanan (lahut) menyerap (masuk) ke dalam roh manusia dan (nasut) yang akhirnya lenyap (fana) lah roh kemanusiaan karena telah bersatu dengan roh ketuhanan laksana persatuan antara gula dengan air. Dalam kitabnya yang berjudul “Tawasin” al-Hallaj berkata
“Kau telah mencampur rohmu ke dalam rohku seperti percampuran air anggur dengan air murni. Apabila sesuatu menyentuhmu maka akupun tersentuh karena kau dan aku satu dalam segala hal”.

Pemikiran Al Hallaj berpangkal dari keyakinan bahwa Tuhan dapat ditemukan dalam kalbu masing-masing. Pemikiran tersebut mengantarkannya untuk merumuskan berbagai paham, diantaranya: kesatuan manusia dengan Tuhan (hulul), penciptaan alam melalui cahaya Muhammad (nur Muhammad), dan kesatuan segala agama (wahdatul adyan). Al Hallaj percaya bahwa Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam tubuh manusia yang telah membersihkan sifat kemanusiaannya. Pengalaman ini membuatnya mengeluarkan ucapan Ana Al Haq (Akulah Sang Kebenaran). Pernyataan tersebut menjadi salah satu pokok tuduhan bahwa Al Hallaj telah mengaku sebagai Tuhan.
Berikut ini kami paparkan sebagian perkataan mereka : Al-Hallaj berkata :
Maha Suci yang menampakkan sifat kemanusiannya,
Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang,
Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya,
Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,
Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti
jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain.
Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab
yang tergambar dalam seluruh bentuk pada
hamban-Nya, Fulan.
Al-Hallaj percaya bahwa gambar Allah dalam manusia (nasut) bisa mencapai harus dipenuhi dalam persatuan dengan kodrat Ilahi (lahut) setelah yang dimodelkan. Dia melihat Yesus sebagai contoh tertinggi dimuliakan, atau disempurnakan, kemanusiaan, sebagai actualizer dari konsep Al-Quran tentang gambar Allah dalam manusia. (Yesus juga akan menjadi cap orang-orang kudus pada hari penghakiman.
Al-Hallaj menemukan dalam diri Yesus jenis yang sempurna "manusia didewakan," berubah menjadi wakil Tuhan, kesatuan ilahi akan dan alam. Dia, seperti Yesus, menjadi satu dengan al-Haqq ("The One True," atau "Kebenaran") dirinya sendiri. Jadi kita menemukan dia membuat pernyataan Yesus mengingatkan, barangkali dengan meditasi sadar pada angka ini di dalam Injil keempat.
Akulah Dia yang saya cintai, dan dia yang kucintai adalah aku, kami adalah dua jiwa tinggal dalam satu tubuh. Ketika kamu melihat saya, kamu lihat dia, dan ketika kamu melihat bahtera dia, kamu lihat kami.
Ini rasa persatuan dan kesatuan dengan Allah yang menuntunnya Kebenaran mengatakan dalam kesaksian, "Akulah Kebenaran", dan untuk ini ia dihukum mati. Untuk kaum Muslim ortodoks, ini penghujatan, karena Allah tidak akan bersekutu dengan ciptaan-Nya. Teologis ini juga ada masalah, karena hulul adalah istilah untuk doktrin Kristen dibenci inkarnasi, meskipun al-Hallaj tidak berarti bahwa dengan istilah itu. Lebih lanjut, istilah lahut dan nasut digunakan dalam kekristenan Suriah selama dua kodrat Kristus.
Hallaj bukan penganut panteisme, meskipun beberapa telah diklasifikasikan dia demikian. Dia tertarik dalam persekutuan pribadi dengan Allah. The pantheists belakangan memanfaatkan pikirannya, tetapi di abad yang mengikutinya bahwa panteisme berkembang, dengan Abu Sa'id Hallaj tidak pernah mengaku Allah menjadi segalanya, ia mengakui transendensi Allah. Tapi ia merasa Tuhan mengisi dia dan bekerja di dalam Dia.
Dia melihat dirinya, pada kenyataannya, sebagai tanda:
Jika kamu tidak mengenali Allah, setidaknya mengenali tanda-tanda-Nya, tanda bahwa Aku, Akulah Kebenaran Kreatif (ana 'l-haqq), karena melalui kebenaran, kebenaran selalu saya . Dan aku, sekalipun aku dibunuh dan disalibkan, dan meski tangan dan kaki dipotong - aku tidak menarik kembali.
Kalau roh ketuhanan telah turun dan masuk serta bersatu dengan roh kemanusiaan apa saja yang keluar dari manusia semuanya dari Tuhan. Al-Hallaj dalam “Tawasin” berkata “Aku adalah engkau tidak diragukan, kemahasucianmu adalah juga kemahasucianku, mentauhidkan engkau adalah juga mentauhidkan aku, berbuat maksiat kepadamu juga berbuat maksiat kepadaku”. Karena itu menurut al-Hallaj manusia dapat menjelma menjadi Tuhan atau sekurangnya mempunyai sifat ketuhanan, bukan saja pada diri Isa bin Maryam bahkan siapa saja yang mampu menfanakan dirinya ke dalam Tuhan dan baqa di dalam Tuhan ia akan menjadi Tuhan dan pada saat itu tiak ada perbedaan antara dirinya sebagai nasut (manusia) dan Tuhan sebagai Lahut. Dalam bukunya “Tawasin” al-Hallaj berkata: Aku adalah rahasia al-Haq, bukankah al-Haq itu aku, bahkan aku adalah al-Haq, maka bedakan antara kami”. Perbedaan antara dirinya dengan Tuhan diterangkan al-Hallaj dalam bukunya “Tawasin” katanya “Tidak ada perbedaan antaraku dan antara Tuhanku melainkan dari dua sisi; adanya kami dari pada-Nya dan segala keperluan kami dari pada-Nya.

Apabila roh ketuhanan telah turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad, tidak ada kehendak yang berlaku melainkan kehendak Allah. Roh Allah telah menyerap ke dalam dirinya sebagaimana roh ketuhanan yang telah menyerap ke dalam tubuh Isa bin Maryam. Itulah sebabnya—katanya—Allah memerintahkan malaikat agar bersujud kepada Adam karena dalam tubuh sudah ada roh ketuhanan.

Al-Hallaj adalah pencetus teori hulul dalam kajian sufistik Hulul menurutnya adalah bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk bersemanyam di dalamnya dengan sifat ketuhanan-Nya (lahut), setelah sifat kemanusiaan (nasut) yang ada pada manusia dilenyapkan. Ketika itu seorang sufi tidak sadar diri sehingga ucapan ganjil yang keluar dari mulutnya di luar kesadarannya, hal ini dalam kajian sufistik disebut syathahat. Namun al-Hallaj tidak menjelaskan bagaimana posisi nasut Tulian ketika hulul dengan manusia, dan ketika menyatunya lahut Tuhan dengan lahut manusia apakah ungkapan syathahat itu sepenuhnya dari Tuhan ataukah dari Tuhan dan manusia sekaligus.

Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abi Yazid sama-sama mengajarkan tentang persatuan antara Tuhan dan Hamba. Adapun letak perbedaannya kalau ittihad roh manusia naik dan menyatu kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul roh ketuhanan telah turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluq).

HAKEKAT

Istilah bahasa hakikat berasal dari kata "Al-Haqq", yang berarti kebenaran.
Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan
definisinya sebagai berikut:

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengatkan :

"Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia
mencapai suatu tujuan ...sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda)
ketuhanan dengan mata hatinya".

b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:

"Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan,
ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan
(oleh Allah kepada hamba-Nya".

Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat
dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa
yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam
tingkatan keyakinan:

1) "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan
keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;

2) "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta
ini.

3) "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati
nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan
tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka
kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan
oleh keputusan akal".

Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa
betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu
merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan
akhirnya.

Sedangkan Haqiqah secara etimologi berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala
sesuatu, dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari`ah yang
bersifat lahiriah, yaitu batiniah, sehingga rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syariah dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh orang sufi.
Haqiqah juga dapat berarti kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua
perjalanan, tujuan segala jalan

Hakikat dalam Tasawuf hakikat adalah imbangan kata syariat yang identik dengan aspek kerohanian dalam ajaran Islam. Untuk merintis jalan mencapai hakikat seseorang harus memulai dengan aspek moral yang dibarengi aspek ibadah. Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan akan dapat meningkatkan kondisi mental seseorang dari tingkat rendah secara bertahap ke tingkat yang lebih tinggi. Pada posisi tertinggi Tuhan akan menerangi hati sanubarinya dengan nur-Nya, sehingga ia betul-betul dapat dekat dengan Tuhan, mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya.

Syech Yusuf al-Makasary, telah membagi kiblat maqam terdapat 4 macam :

1.Kiblat Amal disebut kiblat orang-orang awam (ahli syariat), seperti misal: bagi orang awam tidak sah sholat apabila tidak menghadap arah ke kiblat masjil haram

2.Kiblat ilmu disebut kiblat orang-orang khusus (al-khawas), sebagaimana Firman Allah “ Kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah” (Al-Baqarah : 115)

3.Kiblat al-sirr disebut kiblat khususnya orang khusus atau ahli hakikat-ma'rifat ( akhas al-khawas), kiblat ini adalah kiblat rahasia yang meliputi segala sesuatu yang tampak, dalam segala sesuatu, atas segala sesuatu, menurut segala sesuatu, bersama segala sesuatu, kepada segala sesuatu dan Dialah Segala sesuatu itu.

4.Kiblat Tawajjuh, adalah kiblat yang ada di hatisanubari dan sejajar dengan hakekat hati, yang telah diisyaratkan dalam sebuah Hadits “ Hati seorang Mukmin adalah Arsyullah”.Sebagian ulama sufi menyatakan “ Hati itu ghaib, al-Haq juga ghaib, sehingga yang ghaib lebih layak dengan pendekatan yang ghaib pula. Apabila orang telah sampai pada keadaan ini, maka dia termasuk orang bebas.

Di kalangan Sufi orang yang telah mencapai tingkatan ini disebut ahli hakikat. Kalau dihubungkan dengan Tuhan, hakikat adalah sifat-sifat Allah SWT, sedangkan Zat Allah disebut al-Haqq. Sufi yang dikenal dengan faham hakikat adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj yang pernah menyatakan “Ana al-Haqq”.

Pembicaraan mengenai masalah ini tentu tidak bisa dilepaskan dari konsep Ittihad, Hulul dan Tawhid yang dalam pemahaman selintas dapat diartikan sebagai penyatuan makhluk dan Khalik. Para ulama Syari’at dalam Islam memandang konsep ini bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu sebagaimana diketahui al-Hallaj mati dibunuh karena mempunyai faham Hulul dan seperti di Jawa Syekh Siti Jenar juga mengalami hal serupa. Kaum Sufi yang mempunyai faham ini kelihatannya merasa takut untuk membicarakan Ittihad, Hulul dan Tawhid. Karena itulah uraian tentang hal ini hanya dijumpai dalam karangan-karangan modern dan tulisan-tulisan para Orientalis.

Ittihad adalah satu tingkatan dalam Tasawuf ketika seorang Sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Saat itulah terjadi penyatuan antara yang mencintai dan yang dicintai. Dalam kondisi Ittihad seperti inilah satu sama lain dapat memanggil Ya Ana (wahai aku). Meskipun yang terlihat hanya satu wujud pada hakekatnya terdapat dua wujud yang berbeda.

Adapun Hulul berarti menempati atau mengambil tempat. Dalam Tasawuf, Hulul berarti suatu keadaan (hal) yang dicapai seorang Sufi ketika aspek an-nasut (sifat kemanusiaan) Allah SWT bersatu dengan aspek al-Lahut (sifat ketuhanan) yang ada pada manusia. Hulul merupakan salah satu bentuk kebersatuan antara Allah SWT dan manusia. Kondisi ini dapat terjadi apabila manusia dapat mencapai Fana’ dengan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan yang dimilikinya sehingga yang tersisa hanyalah sifat-sifat ketuhanannya.

Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa sebelum seorang Sufi dapat bersatu dengan Tuhan ia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam Tasawuf disebut Fana’.

Penghancuran diri dalam Fana’ ini senantiasa diiringi dengan Baqa’ yang berarti tetap atau terus hidup. Fana’ dan Baqa’ merupakan dua sisi mata uang atau kembar dua sebagaimana penjelasan Sufi “Jika kejahilan (kebodohan) seseorang hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan”.

Pada saat seorang Sufi telah mencapai hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia dalam arti tidak disadarinya maka yang akan tinggal hanyalah wujud rohaninya dan ketika itulah ia dapat bersatu dengan Tuhan. Dalam kajian Tasawuf, Abu Yazid al-Bustamilah (W. 874 M) yang dipandang sebagai Sufi pertama yang memunculkan faham Fana’ dan Baqa’.

Faham tersebut tersimpul dalam kata-katanya: “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”. Selanjutnya ia pun mengungkapkan: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup.......Aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup”.

Kelihatannya Zunnun al-Misri baru sampai ke tingkat Ma’rifat sementara Abu Yazid al-Bustami telah melewati tingkat tersebut dan mencapai Fana’ dan Baqa’ seterusnya Ittihad, bersatu dengan Tuhan.

Dalam keadaan Hulul seorang Sufi dapat mengeluarkan kata-kata yang aneh dalam pendengaran awam, seperti yang diucapkan oleh al-Hallaj: “Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar)”. Dalam istilah Sufi ungkapan-ungkapan seperti ini disebut Syatahat. Munculnya istilah seperti ini disebabkan oleh rasa cinta yang berlimpah. Menurut faham Hulul al-Hallaj, sebenarnyalah yang mengeluarkan kata-kata tersebut bukan roh al-Hallaj, melainkan unsur an-nasut Allah yang sedang mengambil tempat bersatu dengan unsur al-lahut al-Hallaj. Bukan pula pada Zat Allah, melainkan unsur an-nasut-Nya yang mengambil tempat pada unsur lahut manusia. Hal ini terlihat dari ungkapan syairnya: “Aku adalah Rahasia Tuhan Yang Maha Benar, dan bukanlah yang Maha Benar itu Aku, Aku hanya satu dari yang benar, bedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.

Dalam Hulul proses kemanunggalan Allah SWT dan manusia itu adalah Allah SWT turun mengisi dan memasuki serta mengambil tempat pada tubuh-tubuh manusia yang Ia pilih, sedangkan dalam Ittihad roh manusia naik (Mi’raj), lebur manunggal di alam Ketuhanan.

Memang mendalami dunia hakekat dapat menyebabkan seseorang menjadi sesat dan "syirik", sebagaimana Ali bin Abi Thalib pernah berkata : “Mencari Hakikat itu termasuk Syirik”. Sebagian ahli hakekat mengatakan :”Syarat kesempurnaan ibadat seorang hamba adalah mengetahui bahwa yang disembah itu tampak pada dirinya, kalau tidak demikian, maka ia tidak dapat menjadi penyembah yang sebenarnya, sebab ia dapat memasuki lautan syirik yang tersembunyi. Bagaimana tidak, sedangkan ia menjadi seorang penyembah karena ia menerima perintah dariNya Ta’ala dan Dia adalah yang disembah, karena segala sesuatu kembali kepadaNya. Ia juga harus mengetahui dan mengerti bahwa setiap kali ia menghadapi sesuatu apakah itu gambaran atau pengertian , ia mendapati al-Haq tampak padanya dan nyata olehnyadengan pengadaan dan penciptaaNya secara umum. Hal ini dapat dicapai setiap orangsesuai dengan kemampuannya dalam penerimaan penampakan itu secara khusus.
Sebagaimana Abu Yazid al-Bhistami menyatakan “ Aku adalah yang mencintai dan yang dicintai adalah Aku”. Abu Bakar al-Shiddiq berkata berkata “ Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sebelumnya”, Umar Ibn al-Khattab berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sesudahnya”, Usman ibn Affan berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan bersamanya, Sedangkan Ali Ibn Abi Thalib berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan di dalamnya. Perkatan para sufi dalam hal ini tujuannya sama. Adapun perbedaanya adalah terletak pada penyaksian perkataan mereka tersebut terhadap masing-masing dari mereka sesuai dengan tingkatan ma’rifatnya dalam kesufian.
Demikianlah Petikan dari beberapa kitab hasil karya Syech Yusuf Taj al-Makasari, semoga petikan ini dapat bermanfaat bagi para ahli suluk yang lagi berjalan menuju kehadllirat Allah SWT.

Ma'rifat

Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti

mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan

pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal

Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama

Tasawuf; antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf

yang mengatakan:

"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud

yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat

Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:

"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam

keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad

bin Abdillah yang mengatakan:

"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu

pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang

meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."

marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.

Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.

Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA

Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT

Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah

Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan n­ur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).

Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.

Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.

Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:

ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك

“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.

Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:

الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.

“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).

Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite).

Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat n­ur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.

Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.

Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahm­d, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab­ al-A’la al-Maud­diy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.

Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.

Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku.

Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.

Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.

Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38)

Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.

Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :

a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.

b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai utama.

c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.

d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.

Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :

a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.

b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.

c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin. (41)

Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis:

“Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”

Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.

Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.

Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’.

Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.

Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.

Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.

Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.

Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.

Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.

Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.

Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.

Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.

Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.

Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan

perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta

yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran

Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena

hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak

membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang

hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.,

sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat

yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin

padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai

tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai

berikut:

a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan

ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,

pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi

dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.

Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT

saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai

tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu

menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)

dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu

dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan

tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus

meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu

adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika

Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa

kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni

ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari

Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh

secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.

Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:

Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.

Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.

Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.

Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.

Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah

Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.

Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya.

Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan.

Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.

Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.

Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.

Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”

Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.

Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.

Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.

Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].

Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “

Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.

Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :

Seandainya Aku tampak tanpa hijab

Pastilah seluruh makhluk sempurna

Namun hijab itu amat halus

Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.

Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).

Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”

Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”

Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:

Matahari siang tenggelam di waktu senja

matahari kalbu tiada pernah tenggelam

Siapa yang mencintai Sang Kekasih

`Kan terbang sayap rindunya

menemui Kekasihnya.

Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya:

Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan

Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia

Yang terdapat dalam berbagai hijab

Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka

Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.

Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”

Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.

Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”

“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”

Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”

Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”

Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah

Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat dikenali.

Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).

Sedangkan al-yaqin -ketahuilah – keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, `Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”

Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.

Sementara firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”

Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”

Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:

“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:

Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?

Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman:

“Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”

Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”

Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”

“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”

Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”

Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”

Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.

Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”

Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”

Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”

Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”

Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”

Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.”

Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”

Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”

Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”

Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”

Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:

Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).

Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”

Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”

Makom Mukasafah

Ulama sufi berkata, "Mukasyafah artinya jalinan secara rahasia antara dua batin." Maksudnya, mukasyafah adalah salah satu dari dua orang yang saling mencintai, yang mengetahui batin urusan dan rahasia yang satunya lagi. Jalinan ini terjadi secara lembut dan penuh kasih sayang. Jika seorang hamba sampai ke kedudukan ma'rifat, maka seakan-akan dia dapat melihat sifat-sifat kesempurnaan Allah dan keagungan-Nya, sehingga ruhnya merasakan kedekatan yang khusus, berbeda dengan kedekatan yang bersifat inderawi, sehingga seakan-akan dia bisa menyaksikan disingkapkannya hijab antara ruh dan hatinya dengan Rabb-nya.

Yang dimaksud kasyf menurut Al Ghazali adalah metode pengetahuan melalui
sarana kalbu yang bening, atau pemahaman intuitif langsung. kasyf
(iluminasi) adalah apa yang tadinya tertutup bagi manusia, atau tersingkap
bagi seseorang seakan ia melihat dengan matanya. Dengan demikian
pengetahuan itu diperoleh dari sumbernya secara langsung, bukan melalui
fikiran atau belajar.

Mukasyafah adalah tersingkapnya tabir yang menjadi kesenjangan antara sufi
dengan Allah. Kesenjangan tersebut adalah jarak antara mahluk dengan khaliknya.

Sementara itu Kasyf menurut Qaysari adalah penyingkapan hijab. Secara
terminologis, kasyf adalah mengetahui makna yang tersembunyi dan realitas
dibalik hijab secara wujud.

Penyingkapan-penyingkapan itu sebenarnya merupakan Tajali Nama yang
mengurusinya. Dan semuanya berada di bawah Nama Al-Alim.

Adapun yang berkaitan dengan duniawi, seperti dalam praktek memberitakan
kejadian-kejadian duniawi yang akan terjadi, termasuk dalam kasf Al Suri,
kasyf ini disebut kasy Ruhbaniyyah, karena mereka mengetahui hal-hal gaib
melalui riyadah dan mujahidah mereka.

Tetapi para ahli suluk beranggapan bahwa hal itu sebagai al istidraj, yaitu
kemunduran derajat, bahkan mereka tidak menanggapinya, karena tujuan mereka
adalah fana' fi l-Lah dan Baqa bil-Lah.

Menurut Al Qaysari, sumber mukasyafah adalah al qalb al insani dan intelek
amalinya yang bercahaya yang menggunakan indera ruhaniyah. Karena qalbu
manusia memiliki penglihatan, pendengaran dan sebagainya. Sebagaimana
diisyaratkan Allah dalam firmannya :
"Maka sesungguhnya tidak buta matanya, tetapi yang buta adalah hatinya yang
ada di dalam dada". Dan "Allah telah menutup keatas hati mereka dan
pendengarannya dan penglihatan mereka dengan tirai."

Dan indra ruhaniyyah ini adalah bathin indera jasmani. Ketika tersingkap
hijab dimensi ruhani dan dimensi kongkrit maka akan menyatu indera
ruhaniyah dan indera jasmaniyahnya. Dan dia akan mempersepsikan dengan
indera ruhanniyahnya. Ruh akan menyaksikan semuanya secara esensial, karena
hakikat yang ada akan menyatu dengan ruh dalam martabatnya dengan
keberadaan yang lengkap dan seluruh hakikat terpadu di dalamnya.

Hijab tersebut adalah nafsunya, yang disingkap Allah dengan kekuatan-Nya. Dengan begitu dia akan menyembah-Nya seakan-akan dapat melihat-Nya.

Ada tiga derajat mukasyafah, yaitu:

Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar, yang harus berjalan secara terus-menerus. Hal ini terjadi pada sekali waktu tanpa waktu yang lain, tanpa diselingi suatu pemisahan. Hijab yang tipis bisa terbentang pada kedudukannya, hanya saja hijab itu tidak membuatnya memalingkannya dan meniadakan bagiannya. Ini merupakan derajat orang yang menuju suatu tujuan. Jika berlangsung terus, maka menjadi derajat kedua.

Mukasyafah yang benar merupakan ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba dan menampakkan kepadanya perkara-perkara yang tidak diketahui orang lain. Namun Allah juga bisa memalingkan dan menahannya karena kelalaian dan membuat tutupan di dalam hatinya. Tapi tutupan ini amat tipis, yang disebut al-ghain. Yang lebih tebal lagi disebut al-ghaim, dan yang paling tebal adalah ar-ran. Yang pertama berlaku bagi para nabi, seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya ada tutupan dalam hatiku, dan sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali (dalam sehari)." Yang kedua berlaku bagi orang-orang Mukmin, dan yang ketiga bagi orang-orang yang menderita, seperti firman Allah, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." (Al-Muthaffifin: 14).

Hijab ada sepuluh macam:

1. Hijab peniadaan dan penafian hakikat asma' serta sifat. Ini merupakan hijab yang paling tebal. Orang yang memiliki hijab ini tidak mempunyai kesiapan untuk mengetahui Allah dan sama sekali tidak sampai kepada Allah, sebagaimana batu yang tidak bisa naik ke atas.

2. Hijab syirik, yaitu membuat hati menyembah kepada selain Allah.

3. Hijab bid'ah yang bersifat perkataan, seperti hijab orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan berbagai macam perkataan yang batil lagi rusak.

4. Hijab bid'ah yang bersifap ilmiah, seperti hijab para ahli thariqah yang melakukan bid'ah dalam perjalanannya kepada Allah.

5. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batinnya, seperti hijab orang-orang yang takabur, ujub, riya', dengki, membanggakan diri dan lain sebagainya.

6. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara zhahir. Hijab mereka lebih tipis daripada hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batin, sekalipun mereka lebih banyak ibadahnya dan lebih zuhud. Dosa besar secara zhahir lebih dekat kepada taubat daripada dosa besar secara batin. Orang yang melakukan dosa besar secara zhahir lebih bisa diselamatkan dan hatinya lebih baik daripada orang yang melakukan dosa besar secara batin.

7. Hijab orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil.

8. Hijab orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah.

9. Hijab orang-orang yang lalai melakukan tujuan penciptaannya dan yang dikehendaki dari dirinya, tidak senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah.

10. Hijab orang-orang yang berijtihad namun menyimpang dari tujuan.

Inilah sepuluh macam hijab yang mendinding antara hati dengan Allah, menjadi penghalang di antara keduanya. Hijab-hijab ini muncul dari empat unsur: Jiwa, syetan, dunia dan nafsu. Hijab tidak bisa disingkirkan jika unsur-unsur penyebabnya masih ada. Empat unsur inilah yang merusak perkataan, perbuatan, tujuan dan jalan, tergantung dari banyak dan sedikitnya, memotong jalan perkataan, perbuatan dan tujuan untuk sampai ke hati. Sementara apa yang dipotong agar tidak sampai ke hati, juga dipotong agar tidak sampai kepada Allah. Antara perkataan dan perbuatan dengan hati terbentang jarak perjalanan. Seorang hamba menempuh jarak perjalanan itu agar sampai ke hatinya, agar dia bisa melihat berbagai macam keajaiban di sana. Dalam perjalanan ini terdapat banyak perampok jalanan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jika dia bisa memerangi para perampok jalanan itu dan amalnya bisa sampai ke hati, maka ia akan menetap di dalam hati, lalu dari hati ini dia akan mendapatkan jendela agar dapat melihat Allah.

Sekalipun perjalanan itu sudah sampai ke hati, namun hamba tidak mendapatkan jendela untuk melihat Allah, bahkan di dalamnya bersemayam nafsu dan pasukannya, sekalipun dia orang yang zuhud dan paling banyak beribadah, maka dia adalah orang yang paling jauh dari Allah.

Bahkan orang-orang yang melakukan dosa besar, hatinya bisa lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Lihatlah seorang ahli ibadah dan zuhud,yang di keningnya terdapat bekas sujud, tapi justru mengingkari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam karena amalnya yang kelewat batas, sehingga dia pun mencemooh orang Muslim lainnya dan menumpahkan darah para shahabat. Di sisi lain lihat seorang peminum berat,(Orang pertama adalah Dzul-Khuwaishirah At-Tamimy Al-Khariji, dan orang kedua adalah Iyadh bin Himar). yang sering mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan dia pun siap dijatuhi hukuman karena kebiasaannya itu. Karena iman, keyakinan dan kecintaannya kepada Allah serta Rasul-Nya, dia rela menerimanya, sampaisampai beliau melarang orang lain yang memakinya. Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang melakukan kedurhakaan lebih baik kesudahannya daripada orang yang melanggar ketaatan.

Perkataan Syech (al-Mursyid), "Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar", setiap orang mengaku memiliki kesesuaian yang benar. Tidak ada penerapan yang benar kecuali yang sesuai dengan perintah. Penerapan dalam ilmu ialah pengungkapan yang sesuai dengan apa yang dikabarkan para rasul. Penerapan yang benar dalam kehendak ialah yang sesuai dengan kehendak Allah.

Mukasyafah yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan yang diturunkan ke dalam kitab-kitab-Nya, yang dilihat dengan hatinya. Ini pula yang disebut penerapan yang benar. Sedangkan kebalikannya adalah suatu keburukan. Ini merupakan derajat pertama, yaitu derajatnya orang yang menuju ke suatu tujuan. Jika berjalan terus dan teguh hati, maka akan mencapai derajat kedua.

Syaikh berkata, "Sedangkan derajat ketiga adalah mukasyafah mata dan bukan mukasyafah ilmu, yaitu mukasyafah yang tidak membiarkan adanya pertanda yang menimbulkan kelezatan, atau yang menghentikan perjalanan atau yang singgah di satu penghalang. Tujuan dari mukasyafah ini adalah kesaksian."

Derajat ini disebut pengungkapan mata, karena banyaknya cahaya pengungkapan apa yang ada di dalam hati, lalu menggantikan kedudukan ilmu yang tidak mungkin diingkari dan didustakan. Sebagaimana melihat dengan pandangan mata yang tidak bisa dilakukan kecuali adanya kekuatan penglihatan, tidak ada pembatas, tidak gelap dan tidak jauh jaraknya, maka pengungkapan dengan mata hati mengharuskan adanya hati yang sehat dan tidak adanya perintang untuk mengungkap segala rahasianya.

Dalam Kitab Manaqib Nurul Burhan, terdapat 70 wali Allah yang sudah mukasyafah tapi berhasil disesatkan oleh Iblis (seperti pengakuan Iblis kpada Sultan al-awliya Syaikh Abdul Wadir al-jailani). Kedua, mukasyafah adalah bagian dari sebuah proses, bukan tujuan puncak dalam suluk ruhani. Selama mengalami proses mukasyafah, sufi (terutama yg masih di tengah jalan) masih harus menghadapi banyak cobaan dan godaan. Apa yang datang dari mukasyafah boleh jadi adalah, meminjam bahasa Qur'an, makr (tipu daya Allah). ia bisa jadi kasyaf syathani, atau khatir syathani. Betul bahwa hati yg suci bisa mendapatkan mukasyafah, tetapi hati yang suci bukan terminal akhir, dan karenanya mukasyafah juga bukan puncak ilmu. Dalam makna wirid- wirid besar tarekat mu'tabarah tersirat bahwa bahkan mukasyafah pun masih bisa disusupi iblis, dan karenanya selalu dibaca istiadzah (sebagian menggunakan wirid shalat istadzah setiap pagi). Kasyaf rabbani memang boleh jadi menjadi isyarat kesucian,tetapi tidak selalu ia bersifat paripurna. Ketiga, seorang yang telah mendapatkan mukasyafah boleh jadi belum mencapai kondisi fana, fana-al-fana, dan baqa. Karenanya, mukasyafah boleh jadi merupakan "hal" atau keadaan spiritual, yang tidak permanen (yang berbeda dengan "maqam" yang relatif permanen). demikian sedikit tambahan.
 
Kenali Pecahan Sifat 20

Mari sama-sama kita pelajari ilmu tauhid sifat 20 yang dipegang oleh Imam Abu Hassan al-Asya’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (Ahli sunnah wal jamaah) agar kita mempunyai asas mengenali Tuhan yang kita sembah dan taati.


 

Takrifan:

ISTAGHNA – Sifat KEKAYAAN Allah swt

IFTIQAR - Sifat berhajat, berkehendak sekalian makhluk kepada Allah swt

Berjuang dan bermujahadahlah kita agar hati kita dibuka pintu makrifat kepada Allah swt dari segi Zat, Sifat, Afa'al dan Asma'-Nya. Sekurang-kurangnya makrifat afa'alnya agar amal ibadat dan amal kebaikan yang kita lakukan tiada "syirik khafi" (yang tersembunyi) yang kesannya ialah amalan itu umpama debu-debu yang berterbangan yang mana tidak bernilai sedikit pun di sisi Allah swt. Fakir dan berhajatnya kita dengan Allah swt dan Maha Kaya dan Hebatnya Allah swt......Astaghfirullahalazim.....laahaulawalaquwwataillabillah.....(sumber Artikel)


 


Takrifan:

ISTAGHNA – Sifat KEKAYAAN Allah swt

IFTIQAR - Sifat berhajat, berkehendak sekalian makhluk kepada Allah swt

Berjuang dan bermujahadahlah kita agar hati kita dibuka pintu makrifat kepada Allah swt dari segi Zat, Sifat, Afa'al dan Asma'-Nya. Sekurang-kurangnya makrifat afa'alnya agar amal ibadat dan amal kebaikan yang kita lakukan tiada "syirik khafi" (yang tersembunyi) yang kesannya ialah amalan itu umpama debu-debu yang berterbangan yang mana tidak bernilai sedikit pun di sisi Allah swt. Fakir dan berhajatnya kita dengan Allah swt dan Maha Kaya dan Hebatnya Allah swt......Astaghfirullahalazim.....laahaulawalaquwwataillabillah.....(sumber Artikel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar